Tahun 2025 ditutup dengan kenyataan yang seharusnya membuat negara menunduk, bukan bertepuk tangan. Terlalu banyak peristiwa besar di penghujung tahun ini yang menunjukkan satu pola lama: negara sigap saat krisis meledak, tetapi gagap ketika diminta mencegah. Kita berulang kali menyebut ini sebagai cobaan, padahal sebagian besar adalah akibat dari pilihan, atau pembiaran yang disengaja.
Banjir
dan longsor yang kembali menelan korban di berbagai daerah, terutama di
Sumatera, seharusnya tidak lagi disebut sebagai kejutan. Semua indikator telah
tersedia: peringatan cuaca, peta rawan bencana, hingga laporan kerusakan
lingkungan. Namun, yang kerap kalah adalah keberanian menghentikan eksploitasi
dan menegakkan aturan. Negara tampak lebih rajin menghitung kerugian
pascabencana daripada mencegahnya sejak awal. Ini bukan takdir alam. Ini
kegagalan tata kelola.
Setiap
tahun, pola yang sama diulang. Sungai menyempit, hutan hilang, permukiman
tumbuh di kawasan rawan. Ketika air meluap, pemerintah datang membawa bantuan,
kamera, dan janji. Setelah air surut, semua kembali seperti semula. Publik
patut bertanya: sampai kapan siklus ini dibiarkan? Berapa korban lagi yang
harus jatuh agar negara berhenti bersikap permisif terhadap perusakan
lingkungan?
Ujian
lain datang dari ruang demokrasi. Dugaan penghalangan kerja wartawan di daerah
bukan insiden sepele. Itu sinyal bahaya. Ketika aparat atau pejabat merasa
berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan, maka yang sedang
dipertaruhkan adalah prinsip dasar negara demokratis. Pers bukan pengganggu
kekuasaan, melainkan alat kontrol yang sah. Jika kritik dianggap ancaman, maka
yang bermasalah bukan persnya, tetapi cara kekuasaan dipraktikkan.
Penegakan
hukum pun belum keluar dari bayang-bayang ketidakpercayaan publik. Retorika
tentang keadilan kerap terdengar lantang, tetapi implementasinya sering pincang.
Masyarakat semakin peka membaca ketimpangan: siapa yang cepat diproses, siapa
yang lama mengendap, dan siapa yang seolah kebal. Selama hukum masih
dipersepsikan sebagai alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan, wibawa negara
akan terus terkikis.
Menjelang
akhir tahun, pemerintah kembali disibukkan dengan agenda rutin: pengamanan
libur panjang, pengendalian harga, dan imbauan ketertiban. Semua itu penting,
tetapi tidak cukup. Publik tidak lagi puas dengan laporan kesiapan dan apel
pasukan. Yang ditunggu adalah dampak nyata—harga yang benar-benar terkendali,
rasa aman yang benar-benar dirasakan, dan kebijakan yang tidak berhenti di atas
kertas.
Editorial
akhir tahun seharusnya menjadi momen kejujuran. Bahwa tidak semua target
tercapai. Bahwa tidak semua kebijakan tepat sasaran. Dan bahwa kritik publik
bukan ancaman, melainkan alarm. Negara yang kuat bukan negara yang anti-kritik,
tetapi negara yang mau belajar dan berani mengoreksi diri.
Memasuki
2026, tantangan tidak akan lebih ringan. Krisis iklim akan terus menekan,
ekonomi global tidak sepenuhnya stabil, dan ekspektasi publik semakin tinggi.
Mengatasinya dengan cara lama hanya akan memperlebar jarak antara negara dan
rakyat.
Akhir
2025 seharusnya menjadi penanda. Bahwa sudah saatnya negara berhenti berlindung
di balik alasan alam, prosedur, dan rutinitas. Publik tidak menuntut
kesempurnaan. Publik menuntut keberanian untuk berubah sekarang, bukan nanti. (Red)
