Notification

×

Iklan

Iklan

Refleksi Akhir 2025: Negara Tak Boleh Terus Berlindung di Balik Alasan

Jumat, 26 Desember 2025 | 4:32:00 PM WIB | Last Updated 2025-12-26T09:32:33Z



Tahun 2025 ditutup dengan kenyataan yang seharusnya membuat negara menunduk, bukan bertepuk tangan. Terlalu banyak peristiwa besar di penghujung tahun ini yang menunjukkan satu pola lama: negara sigap saat krisis meledak, tetapi gagap ketika diminta mencegah. Kita berulang kali menyebut ini sebagai cobaan, padahal sebagian besar adalah akibat dari pilihan, atau pembiaran yang disengaja.

Banjir dan longsor yang kembali menelan korban di berbagai daerah, terutama di Sumatera, seharusnya tidak lagi disebut sebagai kejutan. Semua indikator telah tersedia: peringatan cuaca, peta rawan bencana, hingga laporan kerusakan lingkungan. Namun, yang kerap kalah adalah keberanian menghentikan eksploitasi dan menegakkan aturan. Negara tampak lebih rajin menghitung kerugian pascabencana daripada mencegahnya sejak awal. Ini bukan takdir alam. Ini kegagalan tata kelola.

Setiap tahun, pola yang sama diulang. Sungai menyempit, hutan hilang, permukiman tumbuh di kawasan rawan. Ketika air meluap, pemerintah datang membawa bantuan, kamera, dan janji. Setelah air surut, semua kembali seperti semula. Publik patut bertanya: sampai kapan siklus ini dibiarkan? Berapa korban lagi yang harus jatuh agar negara berhenti bersikap permisif terhadap perusakan lingkungan?

Ujian lain datang dari ruang demokrasi. Dugaan penghalangan kerja wartawan di daerah bukan insiden sepele. Itu sinyal bahaya. Ketika aparat atau pejabat merasa berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan, maka yang sedang dipertaruhkan adalah prinsip dasar negara demokratis. Pers bukan pengganggu kekuasaan, melainkan alat kontrol yang sah. Jika kritik dianggap ancaman, maka yang bermasalah bukan persnya, tetapi cara kekuasaan dipraktikkan.

Penegakan hukum pun belum keluar dari bayang-bayang ketidakpercayaan publik. Retorika tentang keadilan kerap terdengar lantang, tetapi implementasinya sering pincang. Masyarakat semakin peka membaca ketimpangan: siapa yang cepat diproses, siapa yang lama mengendap, dan siapa yang seolah kebal. Selama hukum masih dipersepsikan sebagai alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan, wibawa negara akan terus terkikis.

Menjelang akhir tahun, pemerintah kembali disibukkan dengan agenda rutin: pengamanan libur panjang, pengendalian harga, dan imbauan ketertiban. Semua itu penting, tetapi tidak cukup. Publik tidak lagi puas dengan laporan kesiapan dan apel pasukan. Yang ditunggu adalah dampak nyata—harga yang benar-benar terkendali, rasa aman yang benar-benar dirasakan, dan kebijakan yang tidak berhenti di atas kertas.

Editorial akhir tahun seharusnya menjadi momen kejujuran. Bahwa tidak semua target tercapai. Bahwa tidak semua kebijakan tepat sasaran. Dan bahwa kritik publik bukan ancaman, melainkan alarm. Negara yang kuat bukan negara yang anti-kritik, tetapi negara yang mau belajar dan berani mengoreksi diri.

Memasuki 2026, tantangan tidak akan lebih ringan. Krisis iklim akan terus menekan, ekonomi global tidak sepenuhnya stabil, dan ekspektasi publik semakin tinggi. Mengatasinya dengan cara lama hanya akan memperlebar jarak antara negara dan rakyat.

Akhir 2025 seharusnya menjadi penanda. Bahwa sudah saatnya negara berhenti berlindung di balik alasan alam, prosedur, dan rutinitas. Publik tidak menuntut kesempurnaan. Publik menuntut keberanian untuk berubah sekarang, bukan nanti. (Red)