SURABAYA — Polemik penolakan penggunaan Pendopo Bupati Sampang berbuntut panjang. Sejumlah advokat muda Jawa Timur bersama elemen masyarakat sipil secara resmi melaporkan tindakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang kepada Gubernur Jawa Timur.
Laporan tersebut merupakan respons atas sikap Pemkab Sampang yang dinilai diskriminatif, tidak profesional, serta melanggar prinsip netralitas dan pelayanan publik, menyusul pembatalan penggunaan pendopo untuk agenda Peringatan Milad Muhammadiyah yang rencananya dihadiri Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI.
Koordinator advokat muda Jawa Timur, Rofsanjani Ali Akbar, SH, menegaskan bahwa tindakan Pemkab Sampang tidak dapat dipandang sebagai persoalan administratif biasa, melainkan indikasi pelanggaran serius oleh pejabat pemerintahan daerah.
“Ini bukan sekadar pembatalan izin tempat. Ada dugaan kuat penyalahgunaan kewenangan, pelanggaran asas pemerintahan yang baik, serta sikap intoleran yang dilakukan oleh aparatur negara,” tegas advokat yang akrab disapa Bung Roby, Sabtu (20/12).
Menurut Bung Roby, laporan ke Gubernur Jawa Timur merupakan langkah awal. Dalam waktu dekat, pihaknya memastikan akan melanjutkan pengaduan resmi ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Kementerian Dalam Negeri (Mendagri), Ombudsman RI, hingga Presiden Republik Indonesia.
Langkah tersebut ditempuh karena tindakan Pemkab Sampang diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, di antaranya UU ASN, prinsip netralitas aparatur negara, serta kewajiban pemerintah daerah dalam menjamin pelayanan publik yang adil dan nondiskriminatif.
“Jika dibiarkan, ini menjadi preseden buruk. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan sempit atau tekanan kelompok tertentu. Kepala daerah dan pejabatnya harus bertanggung jawab,” tambahnya.
Para advokat menilai, sikap Pemkab Sampang mencerminkan pembangkangan terhadap semangat konstitusi, sekaligus mencederai komitmen negara dalam menjaga kebhinekaan dan kebebasan berserikat.
Mereka mendesak agar Gubernur Jawa Timur segera melakukan evaluasi menyeluruh, serta menjatuhkan sanksi administratif maupun etik terhadap pejabat yang terlibat, demi menjaga wibawa pemerintahan dan kepercayaan publik." Pungkasnya