Surabaya,Harianmataberita.com - Membaca judulnya saja sebagai penulis merasa tergelitik, semoga masyarakat yang membaca tidak merasa tergelitik juga. Apa maksudnya DPRD Surabaya vs DPR 3D Surabaya? Sebelum tahu maksud dari tulisan ini, mari kita definisikan dan bedah perlahan.
Istilah DPRD sudah lumrah dari singkatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun istilah DPR 3D masih terdengar asing di telinga. Sekilas terlihat sama, namun singkatannya yang berbeda. DPR 3D singkatan dari DPR Datang Duduk Duit.
DPRD atau dengan bahasa kerennya legislator merupakan salah satu jabatan strategis yang mempunyai fungsi legislasi atau pembuat undang-undang atau regulasi, pengawasan dan penganggaran.
DPRD yang konon digadang-gadang sebagai wakil rakyat di parlemen merupakan jabatan yang sering diperebutkan kalangan tokoh hingga masyarakat yang berduit tebal. Bagi kalian yang berduit tipis nggak mengapa bercita-cita dulu saja, karena bercita-cita itu tidak bayar, alias gratis.
Kenapa begitu? Ya, karena ongkos politik untuk berangkat menjadi seorang legislator di Indonesia itu tidak murah, mulai dari biaya sosialisasi ke masyarakat, menyiapkan alat peraga kampanye (APK), menyiapkan amunisi saat coblosan hingga mengamankan suara di tingkat TPS hingga KPU.
Apalagi tingkat pragmatisme masyarakat dari tahun ke tahun semakin signifikan meningkat. Karena tingkat kepercayaan mayoritas masyarakat ke DPRD cuma di angka 62 persen berdasarkan hasil survei Litbang Kompas. Yang ada di benak masyarakat setelah DPRD dipilih pasti melupakan masyarakat, itu fakta yang tak bisa terbantahkan.
Katakanlah, meski jabatan legislator hasil dari membeli suara rakyat, lantas jika sudah jadi legislator apakah rakyat ditinggalkan begitu saja? Apakah jabatan DPRD dijadikan sebuah pekerjaan atau sebagai alat pengabdian, ini teka-teki pertanyaan yang sulit dipecahkan.
DPRD yang mempunyai sebutan sebagai wakil rakyat namun tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat di parlemen justru banyak dipertanyakan kaum intelektual dan para aktivis.
Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya datang, kemudian hanya duduk, lalu saat ada rapat hanya absen nama tanpa menyuarakan dan merumuskan kebijakan regulasi kemudian perbulan tinggal nunggu keluarnya gaji dan tunjangan itulah yang disebut DPR 3D alias DPR Datang Duduk Duit. Output yang ada di pikiran anggota DPR 3D itu hanya gaji dan tunjangan. Jadi substansi tupoksi seorang legislator sudah tidak berfungsi lagi, sungguh miris melihat fenomena tersebut.
Tak dipungkiri juga, baik oknum DPR RI ataupun di setiap daerah seperti DPRD Kota dan DPRD Kabupaten pasti ada oknum anggota DPR 3D, meski tidak dipungkiri ada juga yang benar-benar melaksanakan tupoksinya sebagai seorang legislator, berjuang mengawal aspirasi masyarakat.
Kita ambil contoh di Kota Surabaya, dari 50 anggota dewan yang duduk di kursi DPRD Kota Surabaya, data dari orang dalam memperlihatkan fakta yang mengejutkan. Salah satu dari sekian banyak anggota DPRD Kota Surabaya yang mendapat sorotan mengerucut kepada anggota Dewan dari Partai NasDem.
Data menunjukkan bahwa Partai NasDem Kota Surabaya pada tahun 2024-2029 hanya mendapatkan 2 kursi, yaitu Drs. Imam Syafi'i, SH., MH dari Dapil 1 meliputi Kecamatan Genteng, Gubeng, Krembangan, Bubutan, Tegalsari, Simokerto dan H. Syaiful Bahri, S.Ag dari Dapil 2 meliputi Kecamatan Semampir, Kenjeran, Pabean Cantian dan Tambaksari.
Perolehan tersebut turun jika dibandingkan dengan Pileg tahun 2019-2024 yang mendapatkan 3 kursi seperti Drs. Imam Syafi'i, SH., MH (Dapil 1), H. Saiful Bahri, S.Ag (Dapil 2) dan Hari Santoso, SH (Dapil 5) dan di Pileg tahun 2014-2019 mendapatkan 2 kursi seperti Vinsensius Awey, SS (Dapil 5) dan H. Fatchul Muid, SE (Dapil 2).
Data pada tahun 2014-2019 anggota dewan dari partai NasDem Surabaya, meski mendapatkan 2 kursi di DPRD Kota Surabaya seperti Vinsensius Awey (Komisi C) dan H. Fathul Muid (Komisi D), mereka berdua terkenal vokal mengkritisi kebijakan Walikota yang pada saat itu dijabat Tri Rismaharini, mereka berdua sering menghiasi pemberitaan di media online hingga media cetak.
Nama Vinsensius Awey yang latar belakangnya seorang aktivis PMKRI dan ditunjuk sebagai Anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya adalah sosok yang vokal mengkritisi kebijakan pembangunan Kota Surabaya saat dijabat Walikota Tri Rismaharini.
Beralih pada tahun 2019-2024, meski data menunjukkan Partai NasDem Kota Surabaya secara kuantitas bertambah dari 2 kursi mendapatkan 3 kursi, namun dari sisi kualitas fungsi pengawasan sebagai seorang legislator mulai menurun.
Suara vokal seorang legislator Partai NasDem Kota Surabaya yang berfungsi pembuat undang-undang, pengawasan dan penganggaran terlihat menurun saat mengkritisi kebijakan Walikota Surabaya Eri Cahyadi dan Kepala Dinas di bawahnya.
Hanya dua dewan yang sering menghiasi media online hingga media cetak, yaitu Imam Syafi'i (Komisi A) karena memang latar belakangnya adalah seorang aktivis dan sebagai mantan jurnalis dan Hari Santoso (Komisi D) yang memang latar belakangnya seorang aktivis.
Imam Syafi'i dengan latar belakang seorang aktivis pergerakan PMII dan mantan jurnalis serta tercatat pernah menjabat sebagai Direktur JTV Surabaya saat menjabat DPRD Kota Surabaya periode 2019-2024 ditunjuk sebagai anggota Komisi A. Imam Syafi'i terkenal vokal mengkritisi kebijakan Walikota Surabaya dan OPD di bawahnya karena Komisi A berkaitan dengan bidang Hukum dan Pemerintahan.
Kemudian ada Hari Santoso yang ditunjuk sebagai anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya juga terkenal vokal mengawal permasalahan pendidikan dan kesehatan konstituen bukan hanya di dapilnya namun seluruh permasalahan pendidikan dan kesehatan warga kota Surabaya.
Lantas kemana yang satu anggota dewan dari Partai NasDem Kota Surabaya? Data menunjukkan Syaiful Bahri yang ditunjuk sebagai anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya periode 2019-2024 terlihat melempem menjalankan tugas dan fungsinya sebagai legislator.
Jangankan menghiasi pemberitaan di media saat periode 2019-2024. Saiful Bahri tidak pernah terlihat membawa aspirasi konstituennya di Komisi C yang membidangi pembangunan Kota Surabaya. Kegiatan Reses untuk menjaring aspirasi warga Kota Surabaya dalam setahun 3 kali pun hanya dijadikan ajang formalitas saja untuk menyerap anggaran.
Sorotan tajam dari kalangan jurnalis dan masyarakat pun tertuju pada Dewan yang tidak pernah memperlihatkan kualitasnya sebagai legislator yang berfungsi sebagai pembuat undang-undang, pengawasan dan penganggaran.
Data dari oknum dalam Gedung Yos Sudarso, tempat para anggota Dewan menjalankan tugasnya, bahwa Saiful Bahri anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya dari Fraksi NasDem ini sering titip tanda tangan saat rapat, bahkan ketika menghadiri rapat penting pun tidak pernah menggunakan suaranya, hanya terlihat datang dan duduk, bahkan sering terlihat tidur di kursi Komisi maupun Fraksi, bukti videonya sudah banyak beredar.
Uniknya, selesai rapat pun saat diwawancara sejumlah wartawan kelompok kerja (Pokja) DPRD Kota Surabaya, Saiful Bahri lebih memilih diam tidak bersuara dan menunjuk ke anggota Dewan lainnya untuk diwawancara, entah tidak menguasai materi rapat atau mungkin bisa jadi tertidur saat rapat.
Sorotan tajam dari masyarakat biasa di dapilnya pun tertuju pada sosok anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya periode 2019-2024 fraksi NasDem. Banyak masyarakat di dapilnya yang mengeluh soal pembangunan tidak pernah direspon, bahkan saat dihubungi via selulernya tidak pernah menjawab.
Pada gelaran Pileg tahun 2024-2029, Partai NasDem Kota Surabaya terlihat menurun, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Semula mendapatkan 3 kursi menjadi 2 kursi pada periode 2024-2029, yang terpilih kembali adalah Drs. Imam Syafi'i, SH., MH (Dapil 1 Kota Surabaya) dan H. Saiful Bahri, S.Ag (Dapil 2 Kota Surabaya).
Dengan perolehan 2 kursi di DPRD Kota Surabaya pada periode 2024-2029, maka otomatis secara kuantitas menurun jika dibanding dengan periode 2019-2024. Apalagi melihat dari sisi kualitas, warga sudah tahu track record politisi yang terpilih dari Dapil 2 Kota Surabaya tersebut, tidak bisa diandalkan.
Kritikan tajam pun tertuju kepada para elite Partai Politik. Seyogyanya saat penjaringan calon anggota DPRD, partai politik melakukan penjaringan dan penyaringan yang ekstra ketat, dilihat dari track record calon tersebut. Jangan hanya melihat potensi dari tajirnya calon tersebut. Jika track recordnya tidak pernah memberi kemanfaatan kepada masyarakat wajib dieleminasi.
Namun faktanya parpol tidak bisa demikian karena mereka juga mementingkan elektabilitas efek ekor jas atau dalam ilmu psikologi politik disebut 'coattail effect', meski tokoh tersebut track recordnya tidak pernah memberi kemanfaatan kepada masyarakat luas.
Apakah fenomena DPR 3D akan menghiasi wajah anggota DPRD Kota Surabaya selama 5 tahun mendatang, jangan sampai istilah DPR 3D disematkan kepada anggota DPRD Kota Surabaya fraksi NasDem. Kita tunggu saja sembari nongkrong di warung kopi dengan menikmati segelas kopi dan menghisap sebatang rokok. (Red)